Pria Pilihan
“Saya terima nikahnya…”
Air mataku bergulir hebat ketika mendengar itu terucap dari
bibirnya. Bukan, bukan karena gugup sedang dipersunting oleh seorang lelaki.
Sebab memang bukanlah aku pengantinnya melainkan kakakku. Satu-satunya
perempuan di dunia ini yang ditakdirkan Tuhan menjadi saudari kandungku.
Sebelum saat ini terjadi, pagi tadi aku sudah memulai drama
di dalam mobil pengantin. Ya, aku menangis sejadi-jadinya, mengingat sebentar
lagi kakakku bukan lagi bagian dari keluarga kami. Ia akan menjadi seorang
istri, yang artinya bukan lagi tanggung jawab ayah dan ibu yang telah
membesarkan kedua putrinya selama ini.
Mungkin kamu akan tau rasanya jika dilahirkan sebagai anak
bungsu dari dua bersaudara. Yang mana ada sembilan tahun jarak di antaranya. Dan
ayah ibumu, tak lagi muda. Usia kepala enam dengan anak yang masih berusia 20
tahun, pasti kamu akan mengerti apa yang kurisaukan.
Lima tahun lalu
“Dek, gimana menurut kamu dengan calon kakakmu? Ibu merasa
masih kurang…”
Ibuku tampak serius di meja makan, tempat yang tak
seharusnya membicarakan hal-hal yang memusingkan kepala. Aku hanya membalas
pertanyaannya dengan tawa kecil, kuharap ia mengerti bahwa aku sedang menikmati
makan siang yang lezat ini. Hidup di perantauan membuatku sangat menghargai
tiap waktu yang dilewatkan saat kembali ke rumah. Rasanya, perutku terlalu
rindu dengan masakan-masakan ibu daripada harus memperdebatkan perihal pria
pilihan kakakku.
“Ibu ingin kamu meyakinkan kakakmu bahwa itu belum tentu
pilihan terbaik.”
Deg!
Aku tersentak, tapi berusaha menutupi kekagetanku dengan meneguk
air. Bagaimana bisa aku harus melakukan apa yang bertentangan dengan prinsipku?
Di usia belia, aku sudah terbiasa tidak mencampuri sedikit pun urusan
masing-masing anggota keluarga, kecuali mereka sendiri yang memintanya.
Bukannya tidak peduli, hanya saja itu caraku menghargai.
Kuulas senyum di bibir, semoga bisa memuaskan kegusaran
ibuku. Sebab ada beberapa hal yang lebih baik tak terucap.
**
Sampai akhirnya harus kembali ke perantauan, tak sekalipun
aku berusaha menggoyahkan pilihan kakakku. Walaupun akhirnya aku bertemu dengan
pria itu, aku tak kuasa memberi kesimpulan tentang pribadinya yang seperti apa.
Yang aku lihat, mereka saling mencintai. Tidak ada yang mengejar, tidak ada
yang dikejar. Biar kata orang kakakku lulusan universitas ternama dengan gelar
S2 dan membuat langkah beberapa pria gentar, toh ternyata yang sederhana justru
bisa meluluhkan hatinya.
Dengan segala kedominanan dalam jiwanya, aku yakin kakakku
paham betul apa dan siapa yang terbaik untuknya. Ya, biarpun aku tau, sebagai
anak pertama dan cucu pertama, semua ingin yang paling baik baginya. Namun,
siapa yang berhak menentukan itu semua bila akhirnya ia yang menjalani hidupnya.
**
Aku sedang menatap foto keluarga yang baru saja dicetak. Ah,
rasanya lega sekali. Masa-masa menegangkan itu akhirnya terlewatkan. Masa di
mana ibuku tak kunjung memberi restu kepada pria yang meneguhkan kakinya untuk
melewati pintu gerbang rumah kami. Belum lagi pernikahan mereka membuahkan
seorang putri yang menggemaskan, pengundang tawa paling ceria dan penghangat
ternyaman di rumah kami saat ini.
Tidak secuil pun ada sesal atau kecewa di benakku. Aku bersyukur,
dulu tidak ikut-ikutan memberi pendapat tentang jodoh kakakku. Aku percaya
kepadanya, bahwa ia adalah perempuan cerdas dan memahami dirinya seutuhnya.
Andaipun pria itu di mataku bukanlah orang yang sepatutnya,
pada akhirnya yang merasakan kebahagiaan adalah kakakku dengan hidup
bersamanya. Kakakku yang lebih tau dia seperti apa. Dan inilah caraku
menyayangi kakakku, melihatnya bahagia menapaki rumah tangga bersama pria yang
kuharap mengantarkan ia ke surga-Nya.
Berkaca darinya, diam-diam aku kagum dengan pria yang
bersanding dengan kakakku. Begitu tangguh ia menghadapi semuanya. Kalau bukan
karena cinta, lalu apa? Ia mau menghabiskan waktu untuk berjuang, meski belum
jelas akhirnya seperti apa.
Terima kasih karena telah melunakkan hatinya walau tak
mengimbangi perdebatannya. Terima kasih telah mendorongnya ke garis finish walau tak mengikuti larinya yang
kencang. Terima kasih telah menjadi abang yang bisa membahagiakan satu-satunya
kakakku di dunia ini. Terima kasih telah berhasil sebagai pria pilihan.
Aku tidak mencari figur kakak laki-laki, yang aku butuh
adalah dia yang bisa menjaga hati orang yang kucintai sepenuh hati.
Kini giliranku menunggu, ia yang dengan mantap meminta izin
kepada kedua orangtuaku. Tidak menimbang-nimbang segala yang membebani pikiran.
Jika pernikahan bagian dari ibadah, kenapa harus diberat-beratkan? Jika akhirnya
yang menjalani dua pribadi, kenapa semua harus ikut menguji?
6 comments
Semoga kelak bertemu dengan jodohnya kak yah. AMIN. :)
ReplyDeleteAmiiin ya rabbal alamin.
DeleteTerima kasih. :)
Agaknya sebentar lagi bakal ada janur kuning melengkung di depan rumah. Moga-moga dipertemukan dengan jodoh terbaik ya Funyyy ;). Kira-kira sapose ya? *kepo :D
ReplyDeleteKapan akuuu kapan aku ya Allah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteketika kita dekat dengan orang lain apalagi memberi perhatian kepadanya yang baru sepenggal waktu, perasaan apa yang hinggap di dalam hati orang tua kita yang sudah memberi perhatian kepada kita hampir diseluruh waktu kita :(.. Ya Allah Lindungi Orang tua Kita , kasihilah mereka sebagai mana mereka mengasihi ku sejak aku masih kecil .. tulisan ini mengingat saya sama ayah yang sudah kembali .. thanks sharingnya ..
ReplyDelete