Menjadi Pendengar yang Baik
Menjadi Pendengar yang Baik - ! Diary Khansa: Hampir setiap orang yang membaca judul tulisan ini secara
impulsif akan berpikir dirinya telah menjadi pendengar yang baik, nggak
terkecuali gue pribadi. Saat judul tersebut terlintas dalam ingatan, gue
ngerasa telah menjadi pendengar yang baik. Namun, ketika mulai menuliskannya,
gue sadar gue masih jauh dari sebutan itu.
Apa, sih, yang sebenarnya kita anggap sebagai pendengar yang
baik? Apakah kita bisa dikatakan sebagai pendengar yang baik hanya dengan tidak
menginterupsi perkataan orang lain? Tidak, ini bukan cuma soal itu. Stephen R. Covey dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People: Powerful Lessons in Personal Change pernah mengatakan, "Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply." Ya, faktanya, kebanyakan
dari kita selalu berlomba-lomba untuk memberi respons ketika mendengarkan seseorang.
Seakan-akan ada giliran bicara yang udah terjadwalkan dan kita tak sabar
menunggu antrean itu. Bisa saja memang respons tersebut secara tulus kita
lontarkan karena berempati kepada lawan bicara, sekadar mengutarakan pengalaman dan pikiran yang sama, atau bahkan hanya ingin agar dia
mengetahui kapasitas diri kita sendiri.
Bukankah lebih baik kita mendengarkan semua curahan hati dan
pikiran seseorang tanpa sibuk berpikir respons seperti apa yang harus kita
tampilkan? Bukankah justru itu akan membuat hati lebih tenang serta menjaga
kualitas komunikasi dan hubungan yang ada? Gue harus akui ini, gue pernah
bahkan kerap kali memberi respons secara cepat setelah seseorang menceritakan
isi kepalanya. Entah kenapa, belakangan hal ini semakin terasa seperti kompetisi.
Benar adanya jika manusia senang merumitkan dirinya sendiri.
Orang-orang sibuk memberi tekanan pada batinnya untuk tak sabaran segera
menjawab perkataan orang lain. “Gue kemarin bla bla bla...” Baru saja ia
selesai mengatakan apa yang terjadi, lawan bicaranya langsung menyahut, “Gue
juga pernah gitu, malahan bla bla bla........” Sampai-sampai, responsnya jauh
lebih panjang dari curahan orang pertama. Perasaan senasib terkadang dibalut
oleh perasaan ingin menang dalam sebuah pembicaraan. Hal ini malah bisa
merangsang perdebatan. Hmmm, gue rasa lebih baik untuk menghindari itu terjadi.
Kepikiran nggak, kalo terus seperti itu, komunikasi yang
berjalan hanyalah satu arah sebab tak ada yang benar-benar mendengar. Logikanya sama seperti mendengarkan musik dari iPod sambil melantunkan liriknya. Entah
dari mana datangnya kegelisahan ini, bukankah memperlambat jawaban atas ucapan
orang lain membuat kita lebih santai dan sabar? Bukankah hal ini bisa membuat
kita lebih dicintai oleh mereka? Bukankah kita senang didengarkan dengan penuh
minat oleh orang lain? Kita nggak akan dianggap bodoh, kok, hanya karena memberi cukup jeda antara perkataan orang lain dengan respons yang ingin diberikan. God gave us two ears and one mouth, we should listen more than we say...
Pic source: Pixabay
11 comments
Perlu di Coba.
ReplyDeleteweleh pak, silakaaan :D
Deletewaahhh... JLEB banget... suka ga sabaran ngrespon curhatan orang T.T
ReplyDeletewahahaha jangan ke sini kalo nggak mau lihat yang jleb-jleb. :)))
Deleteterkadang menjadi pendengar yang baik tidak harus mendengar :)
ReplyDeletelisten in the silence :D
DeleteListen to understand. Understand to listen. :)
ReplyDeleteyoaaai mas jawa
Deletehemm menjadi pendengar yang baik itu aku banget haha
ReplyDeletesalam kenal yah mbanya.akhirnya ketmu di acara Durian. suka sama tulisan kesawannya :)
ReplyDeletewww.superarmz.blogspot.com
hehe baru sempat bales. salam kenal Ary! nice to meet you again :)
Delete