Terpilih

by - 9:30:00 PM

Terpilih - Flash Fiction: Seruput kopi terakhirku sore itu. Entah mengapa, saat itu aku lebih memilih kopi dibandingkan teh. Di luar kebiasaanku. Terlebih, aku mengunyah camilan-camilan yang biasanya kuhindari. Klasik, aku mencoba gaya hidup sehat dan semakin hari tubuhku seakan menolak camilan tersebut. Namun, tidak pada hari itu. Dan lagi, sore yang biasanya ramai dengan celoteh kawan, menjadi hening.

Di ruang waktu, aku hanya bersama seorang wanita bermata sejuk. Dia adalah figur yang kukenal sebagai orang-yang-aku-harus-sangat-hati-hati-berbicara-dengannya. Dia pemendam dan kuharap tak menjadi dendam. Dia bukan salah satu di antara banyak pusat perhatian orang kebanyakan.

“Kamu tahu tidak, ketika ada seseorang yang membuatmu deg-degan tapi kamu merasa biasa saja?”

Tiba-tiba dia membuka obrolan. Aku tersentak kaget. Tak kusangka dia menanyakan hal seperti itu padaku. Baru saja aku ingin menjawab, ada sebuah panggilan untuknya yang tidak bisa ditunda.

“Sebentar, ya, ada yang harus kulakukan. Selesainya, kamu jawab pertanyaanku,” ucapnya.

Baiklah, pikirku. Tak harus menunggu lama, dia kembali.

“Untuk pertanyaanmu itu, aku tahu kamu sedang merasakan itu. Hanya saja kamu takut, kamu terjebak keadaan atau memang rasa ketertarikan,” aku melanjutkan obrolan.

Dia terdiam beberapa saat.

“Ada kalanya kita merasa tertarik pada seseorang ketika melihatnya. Suka untuk bertegur sapa dengannya. Lalu, secara naluriah ketika kita bertemu dengannya lagi, kita merasa semakin tertarik. Belum lagi, ada saja hal-hal yang berkaitan dengannya. Membuat kita mengingat dan mengingat lagi,” lanjutku.

“Lho, kamu tahu dari mana jika aku hanya sekilas melihatnya?” tanyanya.

“Aku bahkan tidak berkata bahwa kamu sekilas melihatnya. Aku hanya bilang kamu melihatnya. Kalau begini, jelas, bahwa kamu diam-diam memperhatikannya,” aku menjawab sambil tertawa ringan.

Dia menelan ludah. Matanya yang tadi tidak fokus melihat ke arah mana, beranjak untuk memperhatikan wajahku dengan raut yang serius.

“Dia bisa saja secara tidak sengaja kamu lihat setiap hari. Teruslah bermain dengan kepura-puraan bahwa kamu tidak melihatnya. Padahal, hanya dengan sudut matamu, kamu tahu dia mengenakan kemeja yang berbeda, jam tangan baru, gaya rambut yang berubah, dan hal-hal detail lainnya dari dia. Selama kamu menikmati itu, tidak perlu merasa bodoh. Kamu tidak perlu berhati-hati menggantungkan harapan. Kalau kamu memang berniat ada sesuatu, mulailah. Jangan berharap keajaiban akan mengubah rasa geermu menjadi nyata,” aku menyudahi jawabanku.

Lagi-lagi dia terdiam dan menatapku lekat-lekat.

“Kamu bisa mengerti sebegitunya. Terima kasih untuk perbincangan ini,” dia menjawab dengan nada rendah.

“Baiklah, lanjutkan harimu dengannya ataupun tanpanya.”

“Eh, tapi, jangan bilang siapa-siapa! Ini hanya di antara kita berdua,” serunya.

Aku mengembangkan senyum begitupun dia. Kita saling melempar pandang lalu tersenyum lagi. Dalam hatiku, aku merasa terpilih. Terpilih untuk mendengarkan ceritanya yang mungkin tidak bisa dia ungkapkan pada orang lain. Cerita seorang introvert yang terkesan lugu dan kekanakan. Terkadang, orang yang kamu pilih mendengarkan ceritamu justru orang yang jarang berkomunikasi denganmu. Konyol memang, tapi kerap kali mereka jauh lebih bisa dipercaya dibanding kawanmu sendiri.

Aku berjanji tidak mengatakan pada siapa-siapa, tapi aku tak berjanji untuk tidak menuliskannya.


You May Also Like

9 comments

  1. Gatau mau pasang ekspresi gimana baca postingan ini... Pasang muka sedih atau bahagia ya?

    ReplyDelete
  2. Perbincangan dua perempuan yang menarik. Saya suka. :)

    ReplyDelete
  3. terkadang, orang asing jauh lebih mengerti kita dari pada orang-yang-kau-sebut-teman. Karena mereka "benar-benar" mendengarkan tanpa melihat latar belakang kita :)
    nice post

    ReplyDelete
  4. bercerita kepada orang yang belum kita kenal memang mengasyikan apalagi kalau dia bisa mengerti dan memahami apa yang kita ceritakan

    ReplyDelete
  5. menarik sekali jika punya teman seperti itu

    ReplyDelete