Terpilih
Terpilih - Flash Fiction: Seruput kopi terakhirku sore itu. Entah mengapa, saat itu aku
lebih memilih kopi dibandingkan teh. Di luar kebiasaanku. Terlebih, aku
mengunyah camilan-camilan yang biasanya kuhindari. Klasik, aku mencoba gaya
hidup sehat dan semakin hari tubuhku seakan menolak camilan tersebut. Namun,
tidak pada hari itu. Dan lagi, sore yang biasanya ramai dengan celoteh kawan,
menjadi hening.
Di ruang waktu, aku hanya bersama seorang wanita bermata
sejuk. Dia adalah figur yang kukenal sebagai
orang-yang-aku-harus-sangat-hati-hati-berbicara-dengannya. Dia pemendam dan
kuharap tak menjadi dendam. Dia bukan salah satu di antara banyak pusat
perhatian orang kebanyakan.
“Kamu tahu tidak, ketika ada seseorang yang membuatmu deg-degan
tapi kamu merasa biasa saja?”
Tiba-tiba dia membuka obrolan. Aku tersentak kaget. Tak
kusangka dia menanyakan hal seperti itu padaku. Baru saja aku ingin menjawab,
ada sebuah panggilan untuknya yang tidak bisa ditunda.
Baiklah, pikirku. Tak harus menunggu lama, dia kembali.
“Untuk pertanyaanmu itu, aku tahu kamu sedang merasakan itu.
Hanya saja kamu takut, kamu terjebak keadaan atau memang rasa ketertarikan,”
aku melanjutkan obrolan.
Dia terdiam beberapa saat.
“Ada kalanya kita merasa tertarik pada seseorang ketika
melihatnya. Suka untuk bertegur sapa dengannya. Lalu, secara naluriah ketika
kita bertemu dengannya lagi, kita merasa semakin tertarik. Belum lagi, ada saja
hal-hal yang berkaitan dengannya. Membuat kita mengingat dan mengingat lagi,”
lanjutku.
“Lho, kamu tahu dari mana jika aku hanya sekilas melihatnya?”
tanyanya.
“Aku bahkan tidak berkata bahwa kamu sekilas melihatnya. Aku
hanya bilang kamu melihatnya. Kalau begini, jelas, bahwa kamu diam-diam
memperhatikannya,” aku menjawab sambil tertawa ringan.
Dia menelan ludah. Matanya yang tadi tidak fokus melihat ke
arah mana, beranjak untuk memperhatikan wajahku dengan raut yang serius.
“Dia bisa saja secara tidak sengaja kamu lihat setiap hari.
Teruslah bermain dengan kepura-puraan bahwa kamu tidak melihatnya. Padahal,
hanya dengan sudut matamu, kamu tahu dia mengenakan kemeja yang berbeda, jam
tangan baru, gaya rambut yang berubah, dan hal-hal detail lainnya dari dia. Selama
kamu menikmati itu, tidak perlu merasa bodoh. Kamu tidak perlu berhati-hati
menggantungkan harapan. Kalau kamu memang berniat ada sesuatu, mulailah. Jangan
berharap keajaiban akan mengubah rasa geermu menjadi nyata,” aku menyudahi
jawabanku.
Lagi-lagi dia terdiam dan menatapku lekat-lekat.
“Kamu bisa mengerti sebegitunya. Terima kasih untuk
perbincangan ini,” dia menjawab dengan nada rendah.
“Baiklah, lanjutkan harimu dengannya ataupun tanpanya.”
“Eh, tapi, jangan bilang siapa-siapa! Ini hanya di antara
kita berdua,” serunya.
Aku mengembangkan senyum begitupun dia. Kita saling melempar
pandang lalu tersenyum lagi. Dalam hatiku, aku merasa terpilih. Terpilih untuk
mendengarkan ceritanya yang mungkin tidak bisa dia ungkapkan pada orang lain.
Cerita seorang introvert yang
terkesan lugu dan kekanakan. Terkadang, orang yang kamu pilih mendengarkan
ceritamu justru orang yang jarang berkomunikasi denganmu. Konyol memang, tapi
kerap kali mereka jauh lebih bisa dipercaya dibanding kawanmu sendiri.
9 comments
Gatau mau pasang ekspresi gimana baca postingan ini... Pasang muka sedih atau bahagia ya?
ReplyDeletetergantung perasaanmu ketika membacanya :p
DeletePerbincangan dua perempuan yang menarik. Saya suka. :)
ReplyDeleteterima kasih.
Deleteterkadang, orang asing jauh lebih mengerti kita dari pada orang-yang-kau-sebut-teman. Karena mereka "benar-benar" mendengarkan tanpa melihat latar belakang kita :)
ReplyDeletenice post
dan mereka yang tidak tahu karakter kita :)
Deletebercerita kepada orang yang belum kita kenal memang mengasyikan apalagi kalau dia bisa mengerti dan memahami apa yang kita ceritakan
ReplyDeleteYes, setuju! :D
Deletemenarik sekali jika punya teman seperti itu
ReplyDelete